Kondisi Pertanian Indonesia
Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar
luas lahannya yang digunakan untuk sektor pertanian kurang lebih 74,52% dari
keseluruhan lahan di Indonesia. Wilayah Indonesia memiliki tanah yang subur
seperti Pulau Jawa yang dikelilingi gunung berapi sehingga cocok untuk daerah
pertanian, Pulau Kalimantan kondisi tanahnya lebih bagus untuk kegiatan
perkebunan. Selain itu adanya faktor iklim tropis juga menunjang semua kegiatan
pertanian di Indonesia. Mantan presiden Indonesia, Ir.Soekarno dalam salah satu
pidatonya menyebutkan “ Hidup matinya
sebuah negara, ada ditangan sektor pertanian negeri tersebut”. Sektor
pertanian seharusnya dapat menunjang Indonesia untuk lebih maju.namun potensi
pertanian yang begitu besar hingga saat ini belum mampu menyejahterakan rakyat
Indonesia. Hal ini disebabkan pertanian Indonesia dihadapkan berbagai
permasalahan diantaranya:
Pertama sebagian besar dari petani banyak yang termasuk
golongan miskin, ditinjau dari tingkat pendidikan formal yang ditempuh
petani, terlihat bahwa masing-masing petani memiliki tingkat dan lama
pendidikan yang beragam, bahkan ada yang tidak tamat SD. Lama pendidikan
tertinggi yang pernah ditempuh masing-masing adalah 12 tahun atau setara dengan
tingkat SMU.
Kedua lahan pertanian terus menyusut, hal ini berbanding
terbalik dengan Negara-negara di eropa, amerika Serikat, Brazil yang setiap
tahun lahan pertanian justru meluas. Masalah sengketa lahan pertanian terjadi di
Sumatra dan Jawa. Persoalan tanah menjadi lebih kompleks ketika banyak petani
menjual tanahnya kepada pengusaha-pengusaha besar. Ketegangan sosial terjadi
karena adanya ketimpangan kepemilikan lahan pertanian di Indonesia. Ironisnya,
pemerintah pun turut memberikan lahan-lahan pertanian yang besar kepada
pengusaha.
Ketiga tekanan globalisasi pasar dan liberalisasi
perdagangan, Dampak arus globalisasi dalam bidang pertanian ditandai dengan
masuknya produksi pertanian impor yang relatif murah karena diproduksi dengan
cara efisien dan pemberian subsidi yang besar pada petani di negara asalnya,
produk tersebut membanjiri pasar-pasar domestik di Indonesia. Gejala
perdagangan bebas ditandai dengan mengalirnya beras, gula, kedele, jagung, ayam
potong dari beberapa negara tetangga ke dalam negeri, Praktek perdagangan bebas
yang cenderung menghilangkan perlakukan non-tariff barrier telah berdampak
besar terhadap sektor pertanian Indonesia, baik di tingkat mikro (usahatani)
maupun di tingkat makro (nasional-kebijakan). Di tingkat mikro, liberalisasi
perdagangan ini sangat terkait dengan efisiensi, produktivitas dan skala usaha.
Sedangkan di tingkat makro, kebijakan pemerintah sangat diperlukan untuk
melindungi petani produsen dan masyarakat konsumen. Pada kenyataannya kelompok
negara maju lebih berhasil dalam mengamankan petaninya agar tetap bergairah
untuk berproduksi. Sementara negara-negara berkembang seperti indonesia relatif
kurang berhasil memproteksi petani (produsen) dan masyarakat (konsumen).
Keempat Terbatasnya akses layanan usaha, terutama dibidang
permodalan, kemampuan petani untuk membiayai usaha taninya sangat terbatas
sehingga produktivitas yang dicapai masih di bawah produktivitas potensial.
Mengingat keterbatasan petani dalam permodalan tersebut dan rendahnya
aksesibilitas terhadap sumber permodalan formal, maka dilakukan pengembangkan
dan mempertahankan beberapa penyerapan input produksi biaya rendah (low cost
production) yang sudah berjalan ditingkat petani. Selain itu, penanganan pasca
panen dan pemberian kredit lunak serta bantuan langsung kepada para petani
sebagai pembiayaan usaha tani cakupannya diperluas. Sebenarnya, pemerintah
telah menyediakan anggaran sampai Rp 20 Triliun untuk bisa diserap melalui tim
Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Bank BRI khusus Kredit Bidang Pangan dan Energi.
Meskipun Indonesia memiliki potensi pertanian sangat
besar namun hingga saat ini sektor
pertanian belum mampu mensejahterakan petani maupun masyarakat Indonesia hal
ini disebabkan sektor pertanian kurang mendapatkan perhatian serius dari
pemerintah, lemahnya kualitas SDM petani dan kurangnya kepercayaan masyarakat
dalam negeri untuk mengkonsumsi hasil produksi petani.
0 comments: